Perkenalan.
Setelah membalas pesan grup, Sheilla langsung memasukkan ponselnya kedalam laci. Lalu memberikan seluruh atensinya pada pria paruh baya yang terlihat sedang memperkenalkan diri di depan kelas.
“Karena Pak Agus sudah memperkenalkan diri, sekarang gantian kalian. Kalian masih ingat nomor absen kalian? Atau mau urut mengular dari baris kanan?” Tanya pria itu.
Siswa yang masih malu-malu pun hanya mengedarkan pandangannya sembari menunggu siswa lain membuka suara.
“Urut mengular dari baris kanan saja, Pak. Saya lupa nomor absen saya.” Cetus salah satu siswa yang duduk tepat di belakang Sheilla, yang tak lain dan tak bukan ialah Dipta.
Kini pandangan semua siswa tertuju pada Dipta, terkecuali Sheilla. Ia sedari tadi menahan diri untuk tidak banyak tingkah karena duduk di depan Dipta. Masih merasa bingung dengan situasi yang tengah ia hadapi saat ini.
“Wah, masa dari sekian banyak siswa, yang saya dengar suaranya cuma satu siswa saja? Yasudah gapapa, wajar masih malu-malu ya. Liat saja nanti dua minggu masuk pasti sudah gak jaim lagi. Kalau gitu langsung saja ya, biar gak makan banyak waktu. Yang paling kanan maju, perkenalkan diri.”
Setelah itu siswa MIPA3 pun maju satu-persatu memperkenalkan diri. Ya seperti biasa hanya menyebutkan nama, tempat tinggal, dan asal SMP.
Hingga sampailah pada giliran Sheilla, setelah Nesya selesai memperkenalkan diri dan kembali duduk disamping Sheilla. Sheilla langsung maju ke depan dan memperkenalkan dirinya.
“Perkenalkan nama saya Sheilla Anastasya,” Ia membuka sesi perkenalannya. Selagi ia memberi jeda disela perkenalannya, Sheilla tak sangaja menatap manik mata Dipta yang juga menatap dirinya lekat. Terlihat biasa saja memang, apa salahnya menatap orang yang tengah berbicara didepan umum?
Namun tidak bagi Sheilla, karena ketika mata mereka beradu, itu membuat otaknya seketika berhenti bekerja. Dan menyebabkan ia menjadi lupa dengan skenario perkenalan yang telah ia siapkan sebelum maju ke depan.
Lambaian pelan yang dilayangkan Pak Agus didepan mata Sheilla seketika menyadarkannya, Sheilla semakin panik karena tidak mengingat apapun di otaknya.
“Tempat tinggal dan asal SMP-nya?” Pak Agus bertanya kembali.
Bukannya kembali normal, namun tatapan seluruh siswa didepannya semakin membuatnya grogi.
“Engㅡ rumah saya diㅡ rumah orang tuaㅡ Eh, anu maksudnya rumah saya di perumahan Waiji bareng orang tua, Pak.” Sheilla mencoba membenarkan penuturannya yang mulai ngawur.
“Asal SMP saya dari SMP.. e..” Ia menggantung kalimatnya sembari menatap Nesya untuk meminta bantuan, ia juga lupa dari SMP mana ia berasal.
Nesya yang tengah sibuk mencorat-coret buku pun tak begitu memperhatikan Sheilla didepan. Karena gadis itu tau Sheilla akan semakin grogi bila ditatap langsung olehnya, ia tak mau semakin merusak konsentrasi temannya itu.
Fokus gadis itu buyar saat Dipta tiba-tiba menggoyangkan kursinya dari belakang. Sehingga ia mau tak mau harus berpaling dari bukunya, lalu ia menegakkan badannya sejenak sebelum ia menoleh pada Dipta.
Sheilla yang melihat badge sekolah di saku Nesya pun langsung menjawab, “Engㅡ SMP saya bareng sama Nesya, Pak. SMP 2,” Ucapnya lantang.
“Oke, Sheilla. Kamu belum sarapan ya? Kayanya gak konsen gitu. Yasudah kamu langsung duduk saja. Ayo lanjut belakangnya,” Pak Agus mempersilahkan Sheilla untuk kembali duduk dan Dipta untuk maju memperkenalkan diri.
Sheilla menghela nafas, lalu berjalan kembali ke tempat duduknya sembari merutuki kelakuannya yang cukup memalukan di hari pertama ia duduk di bangku SMA.